Covenantal Marriage vs Prenuptial Marriage (2) -->

Pasang Iklan Disini

Pasang Iklan Anda Disini !!!.....,

red2

Covenantal Marriage vs Prenuptial Marriage (2)

Senin, 02 Juni 2025

 MERDEKAANEWS Covenantal Marriage vs Prenuptial Marriage (2)


Di dalam artikel yang pertama, penulis membahas relasi kovenan sebagai dasar pernikahan Kristen. Pernikahan sebagai cerminan relasi antara Allah dan Israel yang kemudian digenapi melalui relasi Kristus dan jemaat-Nya. Ini adalah relasi yang kekal dan tidak dapat dipisahkan. Jika pernikahan dipakai Tuhan sedemikian mulia, seharusnya tidak ada yang namanya “perceraian” di dalam pernikahan. Bandingkan dengan perjanjian pranikah yang dibuat sebagai antisipasi terjadinya perceraian. Bukankah ini bertentangan dengan janji yang kita ucapkan sendiri untuk setia sampai maut memisahkan? Apakah bagi kita itu cuma sekadar seremonial dan lip service belaka? 


Namun, masih ada orang Kristen yang kontra dengan konsep demikian. Berbagai macam argumen dilontarkan untuk membenarkan adanya perjanjian pranikah ini. Mulai dari sisi hukum hingga kelangsungan hidup jika bercerai nantinya. Padahal sebagian dari mereka juga mengerti pernikahan sebagai relasi kovenan. Tetapi, mereka merasa konsep Alkitab tentang pernikahan kurang mencakup persoalan yang bersifat spesifik terutama setelah terjadi perceraian. Maka, artikel kedua ini difokuskan untuk membahas argumen dari pihak yang setuju adanya perjanjian pranikah ini. Kemudian, setiap argumen ini dianalisis untuk melihat bagaimana persoalan yang ada sebenarnya dapat diatur tanpa perlu memakai perjanjian pranikah. Hal ini sangat penting supaya tampak jelas apa yang menjadi motif pernikahan kita, apakah didorong oleh kerelaan untuk menjalin ikatan pernikahan sebagai relasi kovenan atau karena syarat perjanjian pranikah yang terpenuhi. 


Perjanjian Pranikah di Indonesia


Pada praktik pernikahan di Indonesia sekarang ini, sudah lazim membuat perjanjian pranikah (prenuptial agreement). Pengaturan mengenai perjanjian pranikah diatur oleh Pemerintah melalui Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 29 yang diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015. Pemerintah mengatur perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu, sebelum, ataupun selama pernikahan dilangsungkan, artinya perjanjian perkawinan bisa dibuat oleh pasangan yang hendak menikah ataupun pasangan yang sudah menjadi suami istri. Sehingga hukum di Indonesia tidak lagi menyebut perjanjian ini sebagai perjanjian pranikah melainkan perjanjian perkawinan, oleh karena tidak lagi dibedakan kapan seharusnya perjanjian ini dibuat. Isi dari perjanjian ini umumnya memang mengatur mengenai pembagian harta perkawinan. Tetapi ada juga yang mengatur mengenai pengasuhan anak, pendidikan, komitmen tidak adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perzinahan, dan sebagainya. Sampai saat ini, peraturan tidak membatasi apa yang boleh menjadi isi dari perjanjian perkawinan asal saja tidak melanggar hukum dan norma-norma yang ada.


Maka dari itu, perjanjian pranikah ini mulai dilirik oleh sebagian orang Kristen, terutama dari kalangan yang cukup mapan. Tidak adanya batasan isi perjanjian dan memiliki status hukum yang jelas menjadikan perjanjian pranikah ini mulai dipertimbangkan. Hal ini makin didukung dengan isu perceraian dan perselingkuhan yang marak terjadi di zaman ini. Di dalam artikel yang pertama, penulis sudah membahas bagaimana perjanjian pranikah itu bertentangan dengan semangat pernikahan Kristen yang bersifat kovenantal.1 Menyatakan janji untuk setia sampai maut memisahkan, tetapi kita justru membuat perjanjian pranikah dengan alasan antisipasi jika terjadi perceraian. Seakan-akan kita ragu dengan janji yang kita ucapkan sendiri di hadapan Allah Tritunggal dan jemaat-Nya. 


Walaupun demikian, ada saja argumen yang terus dipertahankan untuk membenarkan perjanjian pranikah ini, seperti pemisahan harta dan warisan, status harta sebelum dan sesudah menikah, hingga hak asuh anak. Argumen ini jika diperhatikan, terlihat ada benarnya. Sebagian orang Kristen bahkan mengamini hal tersebut. Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, argumen tersebut hanyalah kedok untuk membenarkan perjanjian pranikah. Tidak ada satu pun argumen yang lahir dari pergumulan tentang pernikahan sebagai relasi kovenan dari Allah. Artikel ini membahas dua argumen utama yang umum dilontarkan, yaitu permasalahan keuangan dan pemisahan harta.


Argumen #1: Keuangan


Argumen pertama yang sering dijadikan pembenaran adalah masalah keuangan. Perjanjian pranikah biasa dibuat dengan alasan untuk menghindari terjadinya kebangkrutan baik akibat perceraian maupun kematian. Sebagai contoh, ketika ada tagihan utang yang jumlahnya sama dengan atau melebihi harta yang dimiliki, maka akan terjadi kebangkrutan. Perjanjian pranikah ini dibuat supaya tidak semua harta suami dan istri digunakan untuk pembayaran utang ini. Dengan kata lain, tujuan membuat perjanjian pranikah ini adalah untuk menjaga keluarga aman dari kebangkrutan dan tetap bisa bertahan hidup dengan harta salah satu pihak, suami atau istri. 


Selain itu, perjanjian pranikah juga dapat difungsikan sebagai perlindungan terhadap kondisi keuangan di pihak istri jika terjadi perceraian. Perjanjian ini mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri setelah perceraian. Misalnya selama menikah, istri tidak bekerja dan pendapatan seluruhnya berasal dari suami. Ketika bercerai, ada kalanya si istri tidak langsung mendapatkan pekerjaan atau penghasilan. Pihak suami perlu memberi nafkah sampai pihak istri sanggup membiayai hidupnya sendiri. Maka perjanjian pranikah dibuat agar istri tetap bisa bertahan hidup setelah perceraian.


Lalu apa yang Alkitab katakan perihal masalah utang ini? Prinsip etika Kristen tentu mengharuskan kita melunasi utang-utang tersebut. Mengabaikan utang yang kita ambil sama saja dengan lari dari tanggung jawab. Apalagi jika utang ini adalah akibat dari kelalaian di dalam mengatur uang hingga hidup yang berfoya-foya. Padahal Alkitab memperingatkan kita, “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.” Karena Allah telah berfirman, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibr. 13:5). Mengambil utang dengan sembrono berarti kita mengabaikan pemeliharaan Allah atas hidup kita.


Di dalam panggilan dan kehendak Allah, kita seharusnya percaya kepada Allah yang akan memelihara. Bagian kita adalah menjalankan kewajiban kita dan biarkan Allah yang melakukan bagian-Nya. Pada awalnya, seharusnya kita tidak mengambil utang yang tidak mungkin kita bayar. Ketika kita mengambil utang itu, seharusnya kita sudah punya jatah uang sejumlah utang tersebut. Sesuai dengan prinsip Alkitab untuk mencukupkan diri pada apa yang kita punya. Jika kita lalai akan tanggung jawab ini, kita sama seperti orang fasik. Hanya bisa bikin utang, tetapi tidak mau membayar (Mzm. 37:21).


Jika kita mampu bertanggung jawab atas utang yang telah dijalankan, perjanjian pranikah menjadi tidak relevan. Untuk apa lagi kita membuat perjanjian pranikah jika kita sendiri sudah tahu risiko dan tanggung jawab yang harus dibayar jika gagal membayar utang. Tanpa ada perjanjian pranikah, kita akan jauh lebih berhati-hati di dalam mengambil utang karena ada risiko harta disita karena gagal melunasi utang. Sebaliknya, dengan adanya perjanjian pranikah, mungkin sekali kita akan seenaknya mengambil utang karena kita merasa ada sebagian harta yang terlindungi. Pada akhirnya kita menjadi orang yang tidak bertanggung jawab atas harta yang Tuhan percayakan. 


Lalu terkait dengan pihak istri yang tidak mempunyai penghasilan tetap untuk kebutuhan hidup, sebenarnya kembali lagi kepada prinsip pernikahan Kristen. Tanyakan kembali mengapa kita takut tidak mampu membiayai hidup setelah perceraian. Bukankah setiap pihak ingin membangun pernikahan yang langgeng sampai seumur hidup? Ini berarti fokus utama kita adalah bagaimana membangun pernikahan yang langgeng dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Untuk apa memikirkan konsekuensi yang memang tidak kita inginkan, terutama perihal perceraian dan masalah keuangan setelahnya?


Argumen #2: Pemisahan Harta


Kedua, perjanjian pranikah dibuat sebagai pengendali masalah jika terjadi keributan pascaperceraian. Jika terjadi perceraian, biasanya suami istri akan meributkan harta gana-gini,2 maka dibuatlah perjanjian ini sebagai tindakan preventif agar tidak terjadi perebutan harta gana-gini. Selain itu, pemisahan harta juga diatur jika terjadi cerai mati.3 Harta gana-gini akan dibagi kepada keluarga yang ditinggalkan. Jika belum mempunyai anak, secara umum akan dibagi kepada orang tua atau saudara dari yang meninggal.


Terkait dengan pemisahan harta, hal ini sebenarnya sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tetapi undang-undang ini tidak menjelaskan secara detail bagaimana cara pemisahan harta. Semua yang digolongkan sebagai harta bersama4 harus dibagi secara merata, entah itu karena perceraian, cerai mati, atau keputusan pengadilan. Inilah yang sering menjadi alasan untuk membenarkan perjanjian pranikah karena tidak diatur secara detail oleh undang-undang. Sama seperti masalah keuangan tadi, untuk apa kita membuat aturan pemisahan harta jika ternyata kita menginginkan pernikahan yang bertahan sampai seumur hidup? Perjanjian pranikah semacam demikian membuat kita gagal menghidupi relasi kovenan yang seharusnya. 


Lalu apa kata Alkitab soal pemisahan harta ini? Dari sejak permulaan, Alkitab sudah memberikan prinsip tentang harta di dalam pernikahan. Hal ini tertulis jelas di dalam Kejadian 2:18, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Ayat ini jelas menyatakan bahwa Allah menyatukan laki-laki dan perempuan di dalam ikatan pernikahan sebagai satu daging. Istilah satu daging di sini maksudnya adalah disatukan secara keseluruhan, secara tubuh, jiwa, dan termasuk harta. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa tidak seharusnya ada pemisahan harta di dalam pernikahan; harta suami juga adalah harta istri, dan sebaliknya. Di dalam pernikahan, seharusnya tidak ada lagi harta milik suami atau harta milik istri, tetapi semuanya adalah harta milik bersama. Bagaimana mungkin kita dapat menghidupi kesatuan relasi di dalam pernikahan, tetapi masih menyimpan harta kepemilikan pribadi?


Marriage as Covenant, Not Contract


Kedua argumen tersebut jelas menunjukkan semangat yang bertentangan dengan Alkitab. Pernikahan Kristen adalah perjanjian antara dua pihak di hadapan Allah dan jemaat-Nya, perjanjian yang bersifat kovenantal.5 Hal ini berbeda dengan perjanjian atau kontrak sosial pada umumnya. Misalnya kontrak di dunia bisnis, jika salah satu pihak tidak menjalankan perjanjian di dalamnya (wanprestasi), pihak lainnya dibebaskan dari perjanjian tersebut atau perjanjian dianggap tidak ada. Namun jika kita membicarakan prinsip kovenan di dalam pernikahan Kristen, ada aspek vertikal di dalamnya seperti pada ilustrasi di bawah ini. 


Kedua belah pihak terikat secara penuh di dalam perjanjian atau kovenan dengan Allah. Alkitab menceritakan bagaimana Allah memakai institusi pernikahan sebagai cerminan relasi antara Allah dan Israel, dan Kristus dan Gereja-Nya. Alkitab bahkan menganalogikan penyembahan berhala Israel sebagai dosa perzinahan (Yeh. 6:9). Maka pernikahan bukan sekadar urusan perjanjian suami dan istri, tetapi bagaimana pernikahan ini dapat menjadi wadah bagi kemuliaan Allah, entah itu dalam mengurus keuangan, kepemilikan harta, pekerjaan rumah, hingga masalah beda pendapat. Tidak mudah memang untuk mengatasi permasalahan tersebut. Tetapi justru hal itu yang menjadi sarana agar relasi kovenan dapat dipertumbuhkan. Menjalin hubungan di dalam kasih perjanjian yang mau mendengar dan mengerti pendapat satu sama lain. Kemudian masing-masing mau dikoreksi agar dapat disatukan dalam kebenaran firman Tuhan. 


Jadi yang digumulkan adalah bagaimana kesatuan pernikahan ini dapat dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-sehari sebagai sepasang suami istri. Melalui hal-hal sederhana yang disebutkan tadi: mengurus keuangan dan kepemilikan harta, seharusnya hal seperti itu tidak perlu dipisah seolah-olah masih hidup sendiri. Bandingkan dengan perjanjian pranikah yang justru memisah-misahkan berbagai hal hingga hal-hal tersebut tidak jelas di mana letak kesatuannya sebagai sebuah keluarga. Argumen yang disampaikan juga terlihat lebih mirip kontrak kerja. Seolah-olah kedua pihak berkewajiban untuk taat kepada perjanjian tersebut, entah secara sukarela atau terpaksa harus taat sesuai kesepakatan di awal. Padahal Alkitab berbicara tentang kasih dan pengorbanan sebagai esensi dari pernikahan. Suami yang rela berkorban demi mengasihi istri, dan istri yang rela tunduk kepada suami. Sikap yang mau memberi diri bagi yang lain tanpa perlu diikat oleh perjanjian tertulis. Inilah kehidupan pernikahan sebagai kovenan yang seharusnya kita nyatakan, bukan menghadirkan perjanjian pranikah yang bahkan digunakan sebagai antisipasi terhadap perceraian. Kalau begitu, untuk apa menikah jika ujung-ujungnya mempersiapkan adanya kemungkinan cerai?


Simpulan


Penulis di sini mau mengajak pembaca untuk bersama-sama memikirkan hal ini, apakah membuat perjanjian pranikah seperti ini sesuai dengan prinsip Alkitab? Apakah hal ini diperkenan oleh Tuhan? Tentu saja tidak. Pembuatan perjanjian pranikah ini tidak dilandasi semangat pernikahan Kristen, melainkan sekadar motivasi ingin mencari aman dan menghindari utang. Alasan yang sebetulnya dapat diatur dengan cara lain tanpa harus membuat perjanjian pranikah. Kita harus kembali kepada prinsip yang benar dan bukan mengikuti nafsu dunia ini.


Terakhir, jangan sampai kita seperti bangsa Israel yang memaksa Musa membuat surat cerai. Padahal dari sejak awal, Allah tidak menghendaki adanya perceraian. Sikap tegar tengkuk Israel yang membuat Musa terpaksa mengizinkan hal tersebut (Mat. 19:7-8). Hal yang sama berlaku juga terhadap perjanjian pranikah. Yang seharusnya difungsikan untuk memperkuat prinsip Alkitab tentang pernikahan, justru dibuat untuk antisipasi jika sewaktu-waktu bercerai. Jangan sampai kita terus memaksakan adanya perjanjian pranikah hingga pada tahap Tuhan membiarkan kita, seperti Tuhan membiarkan Israel. Tuhan tidak rugi jika kita tidak menaati Dia. Justru kita yang rugi karena melewatkan anugerah untuk menghidupi pernikahan kudus dari Allah. Kiranya pernikahan orang Kristen dapat menjadi saluran berkat bagi banyak orang. Soli Deo gloria.


“Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan antara Kristus dan jemaat.” (Ef. 5:32)


2. Harta gana-gini: harta bersama di dalam perkawinan.


3. Cerai mati: salah satu pihak antara suami dan istri meninggal.


4. Harta bersama: Harta yang diperoleh suami istri selama masa pernikahan. 


5. Maleakhi 2:14 menyebut istri sebagai “… istri seperjanjianmu”.


Tag: Covenantal Marriage, Prenuptial Marriage

Ba